Opini

Jaminan Produk Halal di RUU Cipta Kerja

Sabtu, 20 Juni 2020 - 19:15 WIB

Penulis :

Muhamad Nadratuzzaman Hosen, PhD
Tags : LPHKT _ Muhammadiyah
Jaminan Produk Halal di RUU Cipta Kerja
Muhamad Nadratuzzaman Hosen, PhD

KEHALALAN suatu produk bagi konsumen Muslim adalah suatu keharusan--bukan pilihan. Karenanya, jaminan produk halal bagi masyarakat Indonesia menjadi  tanggungjawab negara dalam hal ini  pemerintah. Konsumen Muslim Indonesia merupakan konsumen mayoritas  dimana pemenuhan pangan hingga saat ini menurut Laporan Ekonomi Islam Global (2019), Indonesia merupakan negara pengimpor makanan halal terbesar pada urutan pertama diikuti oleh  (2) Turki, (3) Pakistan, (4) Mesir dan (5) Bangladesh. Indonesia membelanjakan makanan halal sebesar 173 milliar USD pada tahun 2018.

Sementara jumlah UMKM pangan di Indonesia menurut data BPOM 2020 sekitar 99.5 % dari total pelaku Industri MAMIN (makanan dan minuman). Data survei  dari Kementrian Koperasi menyampaikan baru 24.14 % fasilitas produksi UMKM yang memenuhi persyaratan  hygiene sanitasi. Disisi lain pemenuhan persyaratan kehalalan  dengan bukti sertifikat halal menurut data LP POM MUI masih  kurang dari 10 %. Hal  ini menggambarkan kondisi yang cukup berat bagi pelaku umkm untuk bersaing sekalipun di pasar domestic

Pada kondisi pandemi COVID 19, tidak dapat dipungkiri pelaku UMKM sangat terdampak, akibat adanya perubahan pola konsumsi konsumen yang cukup signifikan. Walaupun sektor pangan tidak dapt dipungkiri masih merupakan sektor yang masih eksis pada kondisi covid 19 ini.  Produk pangan yang aman dan halal menjadi pendukung utama yang penting untuk meningkatkan daya tahan tubuh selama masa pandemi. Karenanya PP Muhammadiyah melalui LPHKHT (Lembaga Pemeriksa Halan dan Kajian Halal Thayyiban) bersama Universitas Muhammadiyah seluruh Indonesia telah menyusun beberapa terobosan untuk ikut berkontribusi nyata dalam pendampingan pelaku bisnis pangan skala UMKM. Karenanya  pandangan atau masukan  kami atas kemudahan dan persyaratan terkait jaminan produk halal sebagaimana disampaikan pada RUU Cipta Kerja adalah sebagai berikut:

Dimana ada 24 pasal terkait jaminan produk halal yang diajukan dalam omnibus law. Poin perubahan dari 24 pasal tersebut diklusterkan kedalam 4 isu yaitu: (1) Fatwa Halal, (2) Self declare, (3) Penyelia halal, dan (4) Akreditasi. 

•Perubahan yang terkait dengan poin fatwa ada  pada pasal 1,10, 32 dan 33 yang  intinya menyampaikan bahwa fatwa halal tidak lagi menjadi otoritas MUI. Menurut pandangan kami Fatwa Halal;  tetap harus menjadi otoritas MUI dalam pengertian yang luas demi persatuan umat Islam Indonesia. Terkait Fatwa MUI dalam proses sertifikasi halal,  jika  hal itu dianggap memperpanjang dan memperlama proses sertifikasi, maka yang perlu ditinjau ulang ada keberadaan fatwa pada tahapan proses sertifikasi, bukan pada otoritasnya sebagai pemersatu umat Islam Indonesia.

Self declare, Halal self declare  dilakukan juga di negara tetangga Singapura. Pelaksanaan self declare di negara tersebut dilakukan dibawah payung hukum AMLA (Administration of Muslim Law Act of Singapore) . Pelanggaran terhadap penyalahgunaan logo halal atau klaim halal akan terkena sangsi yang cukup keras seperti yang tertulis pada AMLA 8 (1). Hal ini menunjukkan bahwa fasilitas self declare haruslah didukung oleh pengawasan dan penegakan hukum dari pemerintah. Di Negara tetangga tersebut, pengawasan dilakukan oleh kementerian pemuda Singapura atau menteri yang beragama Islam yang ada di pemerintahan

Self declare memungkinkan  untuk diterapkan bagi  pelaku UMKM  di Indonesia dengan beberapa persyaratan. Self declare halal terhadap produk UMKM hanya dapat  d ilakukan oleh komunitas/ormas Islam yang kredibel. Self declare ini  memungkinkan karena   tingkat resiko keamanan pangan dan  kehalalan untuk produk  kemasan retail berada pada level yang sama, kecuali produk asal hewan yang dikeringkan seperti misalnya dendeng dan abon. Namun beda halnya bagi pangan siap saji yang tingkat resikonya baik  halal dan keamanan pangannya beresiko tinggi. Karenanya self declare kehalalan bagi produk kemasan ataupun siap saji yang disiapkan  oleh pelaku UMKM dapat diterapkan dengan persyaratan sebagai berikut :

Pertama, adanya jaminan kehalalan dari pemerintah terhadap bahan bahan yang  kritis kehalalannya, antara lain yaitu produk hewan dan turunannya serta alcoholic beverages dan turunannya yang dapat digunakan sebagai bahan baku, bahan tambahan pangan atau bahan penolong dalam produksi pangan. Jaminan kehalalan tersebut antara lain berupa aturan, pengawasan dan penegakan hukum terhadap peredaran bahan baik produk impor atau lokal. Terutama untuk produk hewan yang beredar antar pulau dan atau impor, maka harus dipastikan jaminan kehalalanya. Karenanya karantina menjadi salah satu poin pemeriksaan halal yang cukup penting yang harus disempurnakan infrastruktur hukumnya  serta pembekalan kompetensi teknis terkait pengawasan kehalalan produk. Selain itu pengawasan masuknya bahan tambahan pangan (BTP) impor ke wilayah NKRI, menjadi poin krusial bagi pemastian jaminan kehalalannya. Karenanya persyaratan tersebut harus  menjadi satu ketentuan yang memiliki sangsi hukum. Aturan aturan terkait dengan ketersediaan daging lokal dan impor terdapat pada regulasi  antara lain UU Kesmavet no 18 /2009, PP No.95/201 dan Permentan no. 13 tahun 2010. Kemudian aturan yang terkait dengan produk yang menggunakan babi terdapat  Permenkes no 280 tahun 1976. Pengawasan dan penegakan hukum atas pelanggaran masih sampai sebatas tindakan administrasi.

Kedua, penyelia halal (wajib beragama Islam) yang kompeten dan memiliki integritas menjadi sangat penting untuk mendukung self declare. Penyela halal dapat sebagai pemilik  atau  koordinator komunitas produsen pada kluster yang sama. Self declare  hanya bisa diterapkan  melalui kelompok/ormas Islam terhadap komunitasnya. Muhammadiyah melalui LPHKHT, Halal Centre dari Universitas dan Majelis Tarjih dan Tajdid sudah menyiapkan seperangkat aturan untuk memberikan kepastian dan jaminan kehalalan bagi pelaku Usaha ultra mikro dan mikro  pangan  dilingkungannya dalam bentuk ikrar halal, yang merupakan bentuk self declare. LPHKHT akan mempersiapkan penyelia halal yang kompeten dari segi halal dan thayyib dalam rangka  mengawasi  proses produksi pelaku UMKM. 

Ketiga, terkait aktifitas pelaku usaha ultra mikro dan mikro pangan siap saji, harus dipastikan bahwa bahan dan produk yang diharamkan tidak digunakan dan atau dijual pada fasilitas yang sama. Keempat, adanya pengawasan dan penegakan hukum dari pemerintah dalam hal ini BPJPH terkait kepatuhan pelaku usaha ultra mikro dan mikro terhadap aturan halal dan ketentuan diatas.

Poin - poin yang kami sampaikan diatas dalam rangka memberikan suasana yang kondusif bagi pelaku ultra mikro dan mikro untuk berusaha sekaligus memberikan jaminan kepada konsumen Muslim. Karenanya pada kesempatan ini kami ingin mengajukan beberapa pokok pikiran  yang harapannya dapat dipertimbangkan oleh DPR sebagai berikut :

Pertama, jaminan produk halal di Indonesia tidak hanya bertumpu pada kegiatan sertifikasi halal, mengingat jumlah pelaku ultra mikro dan mikro disektor pangan yang cukup besar dan keterbatasan pemerintah dalam membiayai proses sertifikasi. Terminologi self declare dapat diberlakukan dengan persyaratan yang telah disampaikan pada poin diatas.

Kedua, sejalan dengan beberapa wacana  di BPOM, yang mulai mengkaji ekivalensi dari aktifitas yang dilakukan oleh lembaga penilaian kesesuaian yang terakreditasi, maka BPOM akan melakukan proses penyederhaan di tahapan pre market  dengan mengakui hasil pemeriksaan LPK. Hal ini untuk mencegah terjadinya pengulangan kegiatan yang sama dalam rangka peningkatan efiesiensi dan daya saing dari pelaku bisnis pangan di Indonesia. Senarai dengan halal, maka diharapkan self declare bagi pelaku ultra mikro dan mikro pangan yang difasilitasi oleh  organisasi masyarakat yang kredibel seharusnya dapat diterima sebagai suatu kondisi yang dapat dipertanggungjawabkan.

Ketiga, meminta pemerintah, dalam hal ini BPJPH untuk lebih fokus untuk melakukan fungsi post market surveilance bersama BPOM secara lebih intens Pemerintah dalam hal ini BPJPH  sebaiknya mengambil  fungsi pengawasan terhadap pelaksanaan LPH serta fungsi pengawasan/post market surveillance disertai  penerapan penegakan hukum bagi pelaku usaha menengah besar, mikro dan ultra mikro yang tidak patuh pada aturan

Keempat, agar keberadaan dan fungsi LPH dikembalikan sebagaimana aturan lembaga penilaian kesesuaian yang berlaku di Indonesia, dengan tetap mempertahankan  pengecualian yang telah disepakati pada  UU Jaminan Produk Halal seperti halnya LPH hanya  boleh dimiliki oleh ormas Islam atau pengusaha muslim serta auditor dan penyelia harus  Muslim.

Demikian yang kami sampaikan beberapa poin pemikiran sembari mengakhiri  penyampaian  ini  seraya menyampaikan satu pesan pengingat untuk kita bersama bahwa  Undang - Undang JPH adalah UU Jaminan Produk Halal, bukan UU Sertifikasi Halal. Karena sertifikasi menjadi bagian dari bentuk jaminan halal. Sementara UU Jaminan Produk Halal 2014 hanya lebih menekankan kepada proses sertifikasi Halal dan pelaku sertifikasi halal dan kurang menekankan pada aspek pengawasan dan sangsi hukum dalam jaminan produk halal yang harus dilihat dari hulu sampai hilir.

 

*penulis adalah Direktur Utama LPHKHT PP Muhammadiyah