Jaminan Produk Halal di RUU Cipta Kerja
Penulis :
Muhamad Nadratuzzaman Hosen, PhD
Share :KEHALALAN suatu produk bagi konsumen Muslim adalah suatu keharusan--bukan pilihan. Karenanya, jaminan produk halal bagi masyarakat Indonesia menjadi tanggungjawab negara dalam hal ini pemerintah. Konsumen Muslim Indonesia merupakan konsumen mayoritas dimana pemenuhan pangan hingga saat ini menurut Laporan Ekonomi Islam Global (2019), Indonesia merupakan negara pengimpor makanan halal terbesar pada urutan pertama diikuti oleh (2) Turki, (3) Pakistan, (4) Mesir dan (5) Bangladesh. Indonesia membelanjakan makanan halal sebesar 173 milliar USD pada tahun 2018.
Sementara jumlah UMKM pangan di Indonesia menurut data BPOM 2020 sekitar 99.5 % dari total pelaku Industri MAMIN (makanan dan minuman). Data survei dari Kementrian Koperasi menyampaikan baru 24.14 % fasilitas produksi UMKM yang memenuhi persyaratan hygiene sanitasi. Disisi lain pemenuhan persyaratan kehalalan dengan bukti sertifikat halal menurut data LP POM MUI masih kurang dari 10 %. Hal ini menggambarkan kondisi yang cukup berat bagi pelaku umkm untuk bersaing sekalipun di pasar domestic.
Pada kondisi pandemi COVID 19, tidak dapat dipungkiri pelaku UMKM sangat terdampak, akibat adanya perubahan pola konsumsi konsumen yang cukup signifikan. Walaupun sektor pangan tidak dapt dipungkiri masih merupakan sektor yang masih eksis pada kondisi covid 19 ini. Produk pangan yang aman dan halal menjadi pendukung utama yang penting untuk meningkatkan daya tahan tubuh selama masa pandemi. Karenanya PP Muhammadiyah melalui LPHKHT (Lembaga Pemeriksa Halan dan Kajian Halal Thayyiban) bersama Universitas Muhammadiyah seluruh Indonesia telah menyusun beberapa terobosan untuk ikut berkontribusi nyata dalam pendampingan pelaku bisnis pangan skala UMKM. Karenanya pandangan atau masukan kami atas kemudahan dan persyaratan terkait jaminan produk halal sebagaimana disampaikan pada RUU Cipta Kerja adalah sebagai berikut:
Dimana ada 24 pasal terkait jaminan produk halal yang diajukan dalam omnibus law. Poin perubahan dari 24 pasal tersebut diklusterkan kedalam 4 isu yaitu: (1) Fatwa Halal, (2) Self declare, (3) Penyelia halal, dan (4) Akreditasi.
•Perubahan yang terkait dengan poin fatwa ada pada pasal 1,10, 32 dan 33 yang intinya menyampaikan bahwa fatwa halal tidak lagi menjadi otoritas MUI. Menurut pandangan kami Fatwa Halal; tetap harus menjadi otoritas MUI dalam pengertian yang luas demi persatuan umat Islam Indonesia. Terkait Fatwa MUI dalam proses sertifikasi halal, jika hal itu dianggap memperpanjang dan memperlama proses sertifikasi, maka yang perlu ditinjau ulang ada keberadaan fatwa pada tahapan proses sertifikasi, bukan pada otoritasnya sebagai pemersatu umat Islam Indonesia.
• Self declare, Halal self declare dilakukan juga di negara tetangga Singapura. Pelaksanaan self declare di negara tersebut dilakukan dibawah payung hukum AMLA (Administration of Muslim Law Act of Singapore) . Pelanggaran terhadap penyalahgunaan logo halal atau klaim halal akan terkena sangsi yang cukup keras seperti yang tertulis pada AMLA 8 (1). Hal ini menunjukkan bahwa fasilitas self declare haruslah didukung oleh pengawasan dan penegakan hukum dari pemerintah. Di Negara tetangga tersebut, pengawasan dilakukan oleh kementerian pemuda Singapura atau menteri yang beragama Islam yang ada di pemerintahan
• Self declare memungkinkan untuk diterapkan bagi pelaku UMKM di Indonesia dengan beberapa persyaratan. Self declare halal terhadap produk UMKM hanya dapat d ilakukan oleh komunitas/ormas Islam yang kredibel. Self declare ini memungkinkan karena tingkat resiko keamanan pangan dan kehalalan untuk produk kemasan retail berada pada level yang sama, kecuali produk asal hewan yang dikeringkan seperti misalnya dendeng dan abon. Namun beda halnya bagi pangan siap saji yang tingkat resikonya baik halal dan keamanan pangannya beresiko tinggi. Karenanya self declare kehalalan bagi produk kemasan ataupun siap saji yang disiapkan oleh pelaku UMKM dapat diterapkan dengan persyaratan sebagai berikut :
Pertama, adanya jaminan kehalalan dari pemerintah terhadap bahan bahan yang kritis kehalalannya, antara lain yaitu produk hewan dan turunannya serta alcoholic beverages dan turunannya yang dapat digunakan sebagai bahan baku, bahan tambahan pangan atau bahan penolong dalam produksi pangan. Jaminan kehalalan tersebut antara lain berupa aturan, pengawasan dan penegakan hukum terhadap peredaran bahan baik produk impor atau lokal. Terutama untuk produk hewan yang beredar antar pulau dan atau impor, maka harus dipastikan jaminan kehalalanya. Karenanya karantina menjadi salah satu poin pemeriksaan halal yang cukup penting yang harus disempurnakan infrastruktur hukumnya serta pembekalan kompetensi teknis terkait pengawasan kehalalan produk. Selain itu pengawasan masuknya bahan tambahan pangan (BTP) impor ke wilayah NKRI, menjadi poin krusial bagi pemastian jaminan kehalalannya. Karenanya persyaratan tersebut harus menjadi satu ketentuan yang memiliki sangsi hukum. Aturan aturan terkait dengan ketersediaan daging lokal dan impor terdapat pada regulasi antara lain UU Kesmavet no 18 /2009, PP No.95/201 dan Permentan no. 13 tahun 2010. Kemudian aturan yang terkait dengan produk yang menggunakan babi terdapat Permenkes no 280 tahun 1976. Pengawasan dan penegakan hukum atas pelanggaran masih sampai sebatas tindakan administrasi.
Kedua, penyelia halal (wajib beragama Islam) yang kompeten dan memiliki integritas menjadi sangat penting untuk mendukung self declare. Penyela halal dapat sebagai pemilik atau koordinator komunitas produsen pada kluster yang sama. Self declare hanya bisa diterapkan melalui kelompok/ormas Islam terhadap komunitasnya. Muhammadiyah melalui LPHKHT, Halal Centre dari Universitas dan Majelis Tarjih dan Tajdid sudah menyiapkan seperangkat aturan untuk memberikan kepastian dan jaminan kehalalan bagi pelaku Usaha ultra mikro dan mikro pangan dilingkungannya dalam bentuk ikrar halal, yang merupakan bentuk self declare. LPHKHT akan mempersiapkan penyelia halal yang kompeten dari segi halal dan thayyib dalam rangka mengawasi proses produksi pelaku UMKM.
Ketiga, terkait aktifitas pelaku usaha ultra mikro dan mikro pangan siap saji, harus dipastikan bahwa bahan dan produk yang diharamkan tidak digunakan dan atau dijual pada fasilitas yang sama. Keempat, adanya pengawasan dan penegakan hukum dari pemerintah dalam hal ini BPJPH terkait kepatuhan pelaku usaha ultra mikro dan mikro terhadap aturan halal dan ketentuan diatas.
Poin - poin yang kami sampaikan diatas dalam rangka memberikan suasana yang kondusif bagi pelaku ultra mikro dan mikro untuk berusaha sekaligus memberikan jaminan kepada konsumen Muslim. Karenanya pada kesempatan ini kami ingin mengajukan beberapa pokok pikiran yang harapannya dapat dipertimbangkan oleh DPR sebagai berikut :
Pertama, jaminan produk halal di Indonesia tidak hanya bertumpu pada kegiatan sertifikasi halal, mengingat jumlah pelaku ultra mikro dan mikro disektor pangan yang cukup besar dan keterbatasan pemerintah dalam membiayai proses sertifikasi. Terminologi self declare dapat diberlakukan dengan persyaratan yang telah disampaikan pada poin diatas.
Kedua, sejalan dengan beberapa wacana di BPOM, yang mulai mengkaji ekivalensi dari aktifitas yang dilakukan oleh lembaga penilaian kesesuaian yang terakreditasi, maka BPOM akan melakukan proses penyederhaan di tahapan pre market dengan mengakui hasil pemeriksaan LPK. Hal ini untuk mencegah terjadinya pengulangan kegiatan yang sama dalam rangka peningkatan efiesiensi dan daya saing dari pelaku bisnis pangan di Indonesia. Senarai dengan halal, maka diharapkan self declare bagi pelaku ultra mikro dan mikro pangan yang difasilitasi oleh organisasi masyarakat yang kredibel seharusnya dapat diterima sebagai suatu kondisi yang dapat dipertanggungjawabkan.
Ketiga, meminta pemerintah, dalam hal ini BPJPH untuk lebih fokus untuk melakukan fungsi post market surveilance bersama BPOM secara lebih intens Pemerintah dalam hal ini BPJPH sebaiknya mengambil fungsi pengawasan terhadap pelaksanaan LPH serta fungsi pengawasan/post market surveillance disertai penerapan penegakan hukum bagi pelaku usaha menengah besar, mikro dan ultra mikro yang tidak patuh pada aturan
Keempat, agar keberadaan dan fungsi LPH dikembalikan sebagaimana aturan lembaga penilaian kesesuaian yang berlaku di Indonesia, dengan tetap mempertahankan pengecualian yang telah disepakati pada UU Jaminan Produk Halal seperti halnya LPH hanya boleh dimiliki oleh ormas Islam atau pengusaha muslim serta auditor dan penyelia harus Muslim.
Demikian yang kami sampaikan beberapa poin pemikiran sembari mengakhiri penyampaian ini seraya menyampaikan satu pesan pengingat untuk kita bersama bahwa Undang - Undang JPH adalah UU Jaminan Produk Halal, bukan UU Sertifikasi Halal. Karena sertifikasi menjadi bagian dari bentuk jaminan halal. Sementara UU Jaminan Produk Halal 2014 hanya lebih menekankan kepada proses sertifikasi Halal dan pelaku sertifikasi halal dan kurang menekankan pada aspek pengawasan dan sangsi hukum dalam jaminan produk halal yang harus dilihat dari hulu sampai hilir.
*penulis adalah Direktur Utama LPHKHT PP Muhammadiyah