Opini

Pentingnya Difusi Inovasi Dan Paradoks Negara Agraris

Jumat, 30 Juli 2021 - 20:50 WIB

Penulis :

Soemantri Hassan, Pemerhati Kebijakan Publik
Tags : Inovasi, Negara Agraris, UNDP
Pentingnya Difusi Inovasi Dan Paradoks Negara Agraris
Sumantri Hassan/Dokumen penulis

Difusi Inovasi buah pikir cemerlang Everett M Rogers (1962). Dari pendekatan beliau dipakai lembaga dunia United Nations Development Program (UNDP). 

Salah satu syarat tumbuh kembangnya sebuah inovasi adalah banyaknya pradoksal yang terjadi dalam suatu negara demikian Everret M Roger menyimpulkan. Paradoksal negeri yang mengklaim negeri agraris dan juga maritim adalah ladang kajian difusi inovasi di masa depan dekat.

Pendekatan ini digalakkan UNDP dalam rangka percepatan negara negara berkembang dan belum berkembang di seluruh dunia. Tahun 80-90an banyak diterapkan. 

Indonesia saat itu tidak terkecuali. Salah satu yang berhasil gemilang adalah swasembada beras dan program keluarga berencana. Ada banyak program tapi dua itu yang terkesan. Ada banyak ahli Difusi Inovasi. Walau penulis  hanya tahu satu orang alm Sonny Nurman Sanusi, Ph.D yang kebetulan dosen, bapak sekaligus teman diskusi  pembimbing selama studi.

Contoh studi kasus terkait difusi inovasi adalah apa yang telah dilakukan oleh almarhum Sugianto konseptor Simpedes Kupedes Bank Rakyat Indonesia (BRI) berkaitan dengan temuan saudara jauh kita, Tengku Munirman seorang Kepala Desa di Aceh Utara dalam hal penemuan benih.

Sudah acapkali penulis mengangkat sosok almarhum Sugianto. Bahkan chitchat langsung terhadap Sandiaga Salahuddin Uno untuk mengangkat ketokohan almarhum Sugianto namun belum nampak hasilnya.

Kita lupakan sejenak itu. Kini fokus pada karya almarhum Sugianto menelorkan gagasan aplikatif Simpedes Kupedes sebagai solusi pembiayaan pada sektor pertanian akan berkaitan dengan temuan benih Tengku Munirman. Kedua orang ini mengalami paradoksal di Indonesia. 

Sugianto sempat diabadikan namanya di lembaga PBB. Dan BRI mampu menjadi laboratorium keuangan mikro dunia. Pemilik Grameen Bank pun sempat belajar di BRI. Sedangkan Tengku Munirman terjerat hukum karena temuannya. Ironis.

Negara harus hadir memberi kebijakan yang tegas dan alokasi anggaran pertanian dan riset yang mumpuni. Tidak mungkin semua masalah di negeri ini akan di selesaikan secangkir teh dan atau diplomasi nasi goreng.

Jika nasi yang di makan Megawati dan Prabowo Subianto pun jangan jangan impor? Nasi Goreng hanya mengenyangkang selayang pandang rakyat. Tapi jangan jangan harga beras di Indonesia masih didikte para pedagang besar?

Rezim sedang konsolidasi now di tengah pandemik. Mampukah management konflik yang dilakukan Jokowi cq LBP vis a vis Prabowo yang kita sama sama tahu  misi utamanya di prioritas pertama adalah merebut kedaulatan pangan? 

Indonesia masih saja gamang  bahkan pelit menaikkan taraf hidup petani dan nelayan. Mayoritas penduduk negeri ini adalah agen sosial. Namun sampai detik ini tak mampu mendisain untuk asuransi petani dan nelayan dalam timgkat yang advance. Bukan subsidi dan atau bantuan semata. Jadi akahkah mimpi  kita mampu menjadi mangkok pangan Asia? (*)

 

Disclaimer: Tulisan ini adalah Opini dari Penulis. Tulisan ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan hukumbisnis.net terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada Penulis Opini. Redaksi hukumbisnis.net akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.