Opini

Refleksi 76 Tahun Kemerdekaan: Ketika Badui Masuk Istana

Senin, 16 Agustus 2021 - 23:27 WIB

Penulis :

Rio Soemantri, Pemerhati Kebijakan Publik
Tags : Istana, Jokowi, Suku Badui
Refleksi 76 Tahun Kemerdekaan: Ketika Badui Masuk Istana
Presiden RI, Joko Widodo (Jokowi)/Istimewa

Badui atau Baduy masuk istana? Ya. Itulah pesan politik kuat yang di simbolkan dengan pakaian seorang presiden dalam acara kenegaraan. 

Sebagai manusia kita memang dinisbatkan mahluk simbol. (We are animal symbolism). Hanya kadarnya beda-beda tiap orang. Khusus kepala negara tentu kadar emas 24 karat. 

Bicara emas kita sebagai bangsa belum lama gegap gempita memperoleh emas olimpiade. Bertautan dengan lepasnya tambang tambang komoditas strategis yang menyangkut hajat hidup orang banyak. 

Tidak saja emas. Komoditas nikel pun fakta terbaru lepas. Sebagai bahan baku utama baterai. Karena ada kandungan lithium. Asudahlah. 

Toh, ini investasi demikian anggapan umum. Kita bukan saja anak bangsa yang terbelah dalam buku Ichsanoedin Noersy terbaru. Tapi kita jangan jangan sebagai bangsa yang belum selesai mencari jati diri?

Bangsa yang mempunyai jati diri adalah bangsa besar dan  kuat dalam melakukan dokumentasi. Mendokumentasikan segala hal aktivitas inpoleksosbud hamkamnas.Mengutip Eka Budianta, wartawan senior. Dokumentasi adalah jati diri. 

Kita jangan mudah terpesona atau mencaci tradisi memakai pakaian adat seorang kepala negara. Itu harus diapresiasi sewajarnya dan dengan catatan kritis. Bahwa itu galibnya tidak berhenti pada pencitraan an sich. 

Ada ratusan suku bangsa di Indonesia. Tapi kenapa dipilih pakaian adat badui dalam milad ke 76 kali ini? Mungkin presiden Jokowi dan penasehatnya tertarik pada daya tahan suku badui di tengah gempuran zaman demi zaman. 

Suku Badui boleh jadi sukses dan berhasil eksis walau letaknya tak jauh dari pusat peradaban propinsi-propinsi besar di sekitarnya. Bahkan kita acapkali melihat segelintir suku badui berjalan kaki tanpa alas ke kota kota bahkan sampai Jakarta sekadar menjajakan madu dan atau kerajinan tangan lainnya. 

Daya tahan suku badui harus kita akui. Adat istiadat sunda wiwitan tetap pada komando seorang Pu'un ("auliyanya suku badui") yang ada di pedalaman tak sembarang orang bisa ketemu bahkan presiden sekalipun. Alih alih menyebutnya badui dalam. Simbolnya pakaian putih putih. 

Pengalaman pribadi penulis ekpedisi badui tahun 1997 membuktikan itu. 

Jika sudah tak kuat dengan adat istiadat. Maka disebut badui luar. Simbolnya hitam hitam. Keluar dari adat istiadat namun tetap hidup rukun. Aktivitas ekonomi dilakukan secara tradisional atau barter antara suku badui dalam dan suku badui luar. 

Dalam 76 tahun kemerdekaan ini, daya tahan suku badui harus menjadi inspirasi kita semua di tengah suasana prihatin di segala bidang. Jangan sampai kita melupakan adat istiadat. Hingga kita terpecah sebagai bangsa. Kita boleh berbeda dalam apa pun tapi jangan terpecah. Tetap hidup rukun. 

Kita akan terus sama sama mencatat apakah tradisi pemakaian adat rezim dalam kenegaraan berbanding lurus dengan kesejahteraannya suku badui luar utamanya. Karena badui dalam tak mengingkankan modernisasi. Tetap polos dan apa adanya. 

Dirgahayu Indonesiaku. (*)

 

 

Disclaimer: Tulisan ini adalah Opini dari Penulis. Tulisan ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan hukumbisnis.net terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada Penulis Opini. Redaksi hukumbisnis.net akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.