Kasus Pembatalan Sertifikat Tanah di Kota Tangsel Mencuat, Diduga Libatkan Pengembang Raksasa dan Mafia Tanah
Penulis :
Redaksi
Share :Hukum & Bisnis - Permasalahan agraria di Indonesia, khususnya yang berkaitan dengan administrasi legalitas pertanahan, masih menjadi isu yang sangat kompleks dan sering kali tidak mendapatkan penyelesaian yang tuntas. Salah satu kasus terbaru yang menyoroti kelemahan sistem pertanahan terjadi di Tangerang Selatan, di mana sertifikat tanah yang sah secara hukum dibatalkan melalui proses sengketa di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Serang. Kasus ini semakin menarik perhatian publik karena menunjukkan adanya potensi celah hukum yang dapat dimanfaatkan untuk menggugat sertifikat tanah, bahkan yang telah dikeluarkan oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN).
Kasus ini bermula dari klaim PT Grahautama Suksesprima terhadap tanah yang dimiliki oleh Zainudin. Zainudin, yang telah memiliki Sertifikat Hak Milik (SHM) No. 2407 yang dikeluarkan oleh BPN Kota Tangerang Selatan, digugat oleh perusahaan tersebut. Penggugat hanya memiliki bukti berupa surat pelepasan hak yang dikeluarkan oleh camat setempat, yang disertakan sebagai dasar klaim mereka terhadap tanah yang sudah dimiliki Zainudin. Surat pelepasan hak tersebut, menurut penggugat, menjadi dasar bahwa tanah tersebut merupakan bagian dari lahan yang mereka kuasai.
Meskipun Zainudin telah menunjukkan bukti sah atas kepemilikan tanah melalui sertifikat yang diperoleh secara sah melalui jual beli, PTUN Serang memutuskan untuk membatalkan Sertifikat Hak Milik No. 2407 dalam putusan yang terdaftar dengan Nomor Perkara 50/B/2022. Bahkan, upaya banding yang diajukan oleh BPN dan Zainudin tidak berhasil, karena putusan pengadilan tingkat banding No. 7 memperkuat putusan pengadilan sebelumnya.
Pembatalan sertifikat yang sah ini menimbulkan kekhawatiran serius di kalangan pemegang sertifikat tanah lainnya, terutama di wilayah Tangerang Selatan. Sertifikat tanah yang semestinya memiliki kekuatan hukum tetap dan dilindungi oleh sistem administrasi pertanahan negara, ternyata bisa dibatalkan hanya dengan bukti yang lemah. Menurut Tri Apriyanto, seorang pengamat pertanahan, kasus ini menunjukkan adanya kelemahan dalam sistem administrasi pertanahan di Indonesia. Surat pelepasan hak yang digunakan oleh penggugat dalam sengketa ini tidak dilengkapi dengan bukti pendukung yang kuat, seperti girik, Akta Jual Beli (AJB), atau bukti pembayaran pajak tanah (SPT).
Dalam hukum Indonesia, prinsip bahwa pihak yang mendalilkan harus dapat membuktikan klaimnya seharusnya diterapkan dengan tegas. Namun, dalam kasus ini, penggugat tidak dapat menunjukkan bukti yang cukup kuat mengenai lokasi tanah yang mereka klaim. Sebaliknya, Zainudin sudah menunjukkan bukti yang sah berupa sertifikat tanah yang diterbitkan oleh BPN, yang seharusnya menjadi bukti yang diakui oleh hukum.
Sistem hukum pertanahan Indonesia yang masih menganut prinsip "negatif terbuka" dalam Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) 1960 memberikan celah bagi munculnya sengketa seperti ini. Sertifikat tanah yang dikeluarkan oleh BPN tidak memiliki kekuatan hukum absolut, sehingga masih memungkinkan untuk digugat. UUPA yang dirancang untuk merapikan administrasi pertanahan di Indonesia kini dinilai sudah tidak memadai untuk mengatasi dinamika pertanahan yang berkembang pesat, terlebih dengan maraknya pembangunan dan kegiatan pengembang besar yang terkadang memanfaatkan celah hukum ini.
Kasus ini juga menunjukkan adanya potensi kolusi antara pengembang besar dengan oknum-oknum tertentu untuk memanfaatkan celah hukum, dengan tujuan mengintimidasi pemilik tanah agar menyerahkan hak atas tanah mereka dengan harga yang sangat rendah. Pola-pola seperti ini, yang sering kali melibatkan gugatan hukum sebagai alat tekanan, semakin memperburuk situasi.
Pemerintah, khususnya Kementerian Agraria dan Tata Ruang/BPN, perlu segera mengambil langkah konkret untuk memperbaiki masalah agraria di Indonesia. Reformasi dalam kebijakan pertanahan sangat diperlukan, termasuk perbaikan dalam sistem administrasi pertanahan yang lebih transparan, akurat, dan aman. Selain itu, penguatan perlindungan hukum bagi pemegang sertifikat tanah yang sah juga harus menjadi prioritas, agar masyarakat tidak merasa terancam oleh gugatan-gugatan yang tidak berdasar.
Pemerintah harus berkomitmen untuk menegakkan hukum yang adil, memberikan perlindungan bagi hak kepemilikan tanah yang sah, dan mencegah terjadinya praktik mafia tanah serta kolusi yang merugikan masyarakat. Penegakan hukum yang tegas akan memberikan rasa aman bagi masyarakat, serta mencegah terjadinya sengketa pertanahan yang berlarut-larut.
Penting untuk diingat bahwa reforma agraria yang sesungguhnya harus mencakup pembaruan kebijakan yang mampu menghadapi tantangan zaman dan memberikan kepastian hukum bagi setiap pemilik tanah. Dengan demikian, diharapkan sistem pertanahan di Indonesia bisa lebih efisien, adil, dan dapat memberikan perlindungan yang maksimal bagi seluruh pemilik tanah di tanah air.