Kuasa Hukum Waskita Laporkan Dugaan Pelanggaran Etik Hakim ke Komisi Yudisial dalam Sengketa dengan Bank DKI
Penulis :
Share :
Fredrich Yunadi, kuasa hukum Waskita
Hukum & Bisnis - Tim hukum Yunadi & Associates, di bawah pimpinan Dr. Fredrich Yunadi, S.H., LL.M., MBA, resmi mengajukan permohonan perlindungan hukum kepada Komisi Yudisial Republik Indonesia (KY). Permohonan ini juga disampaikan kepada Badan Pengawas Mahkamah Agung (Bawas MA) dan Ketua Pengadilan Tinggi DKI Jakarta. Pengaduan tersebut berfokus pada dugaan pelanggaran Kode Etik Hakim oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Timur yang menangani kasus klien mereka.
Tim hukum Yunadi menduga Ketua Majelis Hakim, Chitta Cahyaningtyas, SH, MH, beserta dua anggotanya, Abdul Ropik, SH, MH, dan Said Husein, SH, MH, serta Panitera Pengganti, Anita Sihombing, SH, MH, telah melanggar asas litispendensi dalam menangani perkara. Selain itu, mereka menduga ada keterlibatan Direksi Bank DKI dalam persekongkolan yang mengarah pada upaya penggiringan hasil sidang.
Dr. Fredrich Yunadi menyatakan bahwa pihaknya bertindak atas nama pemegang saham PT Waskita Beton Precast Tbk (WBPP) yang bersengketa dengan Bank DKI, salah satu Badan Usaha Milik Daerah (BUMD). Sengketa ini semula telah diputuskan melalui proses Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) di Pengadilan Niaga Jakarta dan menghasilkan akta perdamaian Nomor 67. Namun, sengketa berlanjut di Pengadilan Negeri Jakarta Timur yang dianggap tidak memiliki wewenang.
Yunadi & Associates merujuk pada berbagai pasal dalam Kode Etik Hakim, yang menurut mereka telah dilanggar. Fredrich Yunadi menyoroti pelanggaran asas litispendensi, yang menyatakan bahwa suatu perkara tidak boleh diperiksa oleh dua badan hukum berbeda. "Pengadilan negeri tidak memiliki kompetensi untuk membatalkan putusan pengadilan niaga," tegas Fredrich, dalam keterangannya, Kamis (17/10/2024).
Lebih lanjut, Fredrich menuding bahwa majelis hakim bertindak di luar kewenangan hukum yang seharusnya. Ia mengkritik keputusan Pengadilan Negeri Jakarta Timur yang menerima gugatan Bank DKI meski sebelumnya kasus serupa telah ditolak di Pengadilan Niaga Jakarta Pusat. Menurutnya, hal ini menandakan adanya keberpihakan hakim dan pelanggaran serius terhadap kompetensi absolut pengadilan.
Yunadi & Associates juga menyatakan adanya potensi kerugian besar akibat keputusan hukum yang dinilai keliru. Klien mereka, yang bergerak di sektor konstruksi dan penyediaan bahan baku beton, mengalami kerugian materiil senilai Rp44,02 miliar serta kerugian imateriil yang mencapai Rp35,27 miliar. Tak hanya itu, perusahaan pelat merah ini berpotensi menyebabkan kerugian negara hingga Rp1,5 triliun.
Selain laporan ke KY dan Bawas MA, tim hukum Yunadi telah melaporkan dugaan penyimpangan ini kepada Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Kejaksaan Agung, serta Komisi III dan Komisi VI DPR RI. Mereka berharap kasus ini dapat diselidiki secara menyeluruh, terutama terkait keterlibatan hakim yang dinilai melanggar etika dan menunjukkan keberpihakan.
Fredrich Yunadi juga menekankan bahwa kliennya sangat dirugikan oleh keputusan Pengadilan Negeri Jakarta Timur. Ia meminta agar Komisi Yudisial segera mengambil tindakan tegas terhadap majelis hakim yang terlibat. "Para hakim yang melanggar kode etik ini harus ditindak sesuai aturan yang berlaku. Setidaknya, kami berharap mereka diberhentikan dari jabatannya," jelas Fredrich.
Selain itu, Fredrich juga mencurigai adanya komunikasi yang tidak wajar antara panitera dengan pihak penggugat dan tergugat, yang dinilainya tidak transparan dan berpotensi merusak keadilan dalam persidangan. "Hal ini harus diselidiki lebih lanjut oleh pihak yang berwenang, bukan oleh kami sebagai kuasa hukum," tambahnya.
Pada akhirnya, Fredrich Yunadi menutup pernyataannya dengan menyerahkan kelanjutan proses hukum ini kepada Komisi Yudisial dan Badan Pengawas Mahkamah Agung. Ia menekankan bahwa pihaknya hanya meminta perlindungan hukum dan keadilan bagi kliennya, serta berharap agar segala dugaan pelanggaran dalam kasus ini segera ditindaklanjuti.